Jumat, 13 Januari 2017

Kemiskinan di Perdesaan Meningkat



Kompas-Dalam kurun enam bulan (September 2015-Maret 2016), jumlah penduduk miskin nasional berkurang sebanyak 500.000 orang. Pengurangan banyak terjadi di wilayah perkotaan. Namun, jumlah penduduk miskin di perdesaan justru naik. 

Kompas/WAWAN H PRABOWOPetani di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Banyumas, Jawa Tengah, mulai memasuki musim tanam kedua, seperti terlihat pada Selasa (17/5/2016).

Laporan pengurangan penduduk miskin nasional yang dilansir Badan Pusat Statistik pertengahan Juli lalu memberi angin segar di tengah muramnya kondisi bangsa saat ini. Betapa tidak, rendahnya angka pertumbuhan ekonomi sejak triwulan pertama 2015 ikut memperlambat pengurangan penduduk miskin. 

Bahkan, sempat pada periode September 2014 hingga Maret 2015 penduduk miskin bertambah. Jika pada September 2014 penduduk miskin berjumlah 27,73 juta jiwa, dalam enam bulan jumlahnya bertambah menjadi 28,59 juta jiwa. 

Laju penurunan jumlah penduduk miskin melambat dalam beberapa tahun terakhir. Jika pada periode 2004-2010 jumlah penduduk miskin berkurang rata-rata 0,85 juta jiwa per tahun, pada periode 2011-2016 hanya berkurang rata-rata 0,27 juta jiwa per tahun. Lesunya perekonomian global nyata memengaruhi kondisi domestik. 

Meski demikian, data terbaru BPS 2016 memperlihatkan grafik yang mulai membaik. Perlahan, angka kemiskinan mulai menurun meski tidak dalam jumlah yang fantastis. BPS memaparkan kemiskinan berkurang terutama disebabkan tingkat inflasi yang relatif rendah dan turunnya tingkat pengangguran terbuka.

Persentase penduduk miskin di perkotaan yang pada September 2015 sebesar 8,22 persen turun menjadi 7,79 persen pada Maret 2016. Sementara persentase penduduk miskin di perdesaan naik dari 14,09 persen pada September 2015 menjadi 14,11 persen pada Maret 2016.
Mengapa kemiskinan di perdesaan naik? Kondisi ini bisa jadi karena pada periode Februari 2015 hingga Februari 2016 jumlah penduduk yang bekerja turun sebanyak 200.000 orang. Penurunan itu terutama terjadi di sektor pertanian, sektor yang dominan di perdesaan. 

Kota-desa

Kemiskinan di perkotaan dan perdesaan harus dilihat secara berbeda. Kondisi geografis, demografis, dan struktur ekonomi daerah sedikit banyak memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Apalagi ukuran kemiskinan selalu dipandang dari faktor ekonomi yang diukur dari tingkat pendapatan (income) atau tingkat pengeluaran (konsumsi) masyarakat. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ukuran kemiskinan dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Muncul konsep garis kemiskinan yang mengacu pada rata-rata pengeluaran per kapita per bulan. 

Struktur ekonomi di wilayah perkotaan dominan oleh sektor non-tradable, yaitu sektor ekonomi yang tidak dapat diperdagangkan seperti keuangan dan jasa. Sementara wilayah perdesaan yang memiliki sumber daya alam lebih dominan dalam sektor tradable, yaitu pertanian, pertambangan, dan industri.
Pertumbuhan sektor non-tradable biasanya lebih tinggi ketimbang sektor tradable. Itu sebabnya, pertumbuhan pendapatan masyarakat di wilayah yang dominan sektor non-tradable-nya lebih tinggi ketimbang pendapatan para petani di perdesaan. Akibatnya, kesenjangan antara kota dan desa semakin lebar. 



Kompas/P RADITYA MAHENDRA YASABuruh tani merontokkan gabah hasil panen di Desa Pojokrejo, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (14/7/2016). 

Oleh karena ukurannya adalah pendapatan atau pengeluaran, tak heran fluktuasi angka kemiskinan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi. Komoditas yang memberi sumbangan besar terhadap kerentanan kemiskinan yang paling utama adalah beras. Ini berlaku baik di perkotaan maupun di perdesaan. 

Selain beras, di wilayah perkotaan, urutan kedua komoditas yang memengaruhi jatuhnya seseorang atau sekelompok orang di bawah garis kemiskinan adalah perumahan. Berbeda dengan wilayah perdesaan, urutan kedua pemberi sumbangan kerentanan kemiskinan lebih ditentukan oleh komoditas rokok kretek filter.

Hal ini memperlihatkan nilai rokok bagi masyarakat di desa lebih tinggi dibanding bagi masyarakat kota. Masyarakat kota lebih mengutamakan perumahan setelah beras, sedangkan masyarakat desa lebih mengutamakan rokok setelah beras.

Pengentasan rakyat dari kemiskinan

Oleh karena pendekatan dalam memahami kemiskinan dilihat dari sudut pandang ekonomi, hal itu berimplikasi pada program yang dilakukan untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Di banyak negara berkembang, upaya mengatasi masalah kemiskinan bertumpu pada menggenjot pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pendekatan ini ke depan akan cukup menjanjikan. Pasalnya, angka pertumbuhan ekonomi kita pada triwulan kedua tahun ini mulai merangkak naik menjadi 5,18 persen. 

Kementerian Sosial mendata, setidaknya pemerintah memiliki 20 program untuk menangani masalah kemiskinan, di antaranya Program Subsidi Beras Sejahtera (Rastra), Program Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan, BPJS Kesehatan, Kelompok Usaha Bersama, dan Rumah Swadaya. Selain itu juga program-program yang terkait dengan rumah tidak layak huni, asuransi kesejahteraan sosial, jaminan sosial bagi lansia, dan anak telantar. 

Akan tetapi, masih banyak rumah tangga yang belum mampu keluar dari kemiskinan. Hal itu disebabkan program-program tersebut belum terintegrasi. Program pengentasan rakyat dari kemiskinan melibatkan banyak pihak di mana setiap institusi pemerintah belum bersinergi satu dengan lainnya. 

Selain itu, target program berbeda-beda dan basis data yang digunakan tidak sama sehingga sulit mengukur efektivitas program. Contoh sederhana, banyak rumah tangga sangat miskin tidak menerima rastra sesuai jatahnya (15 kilogram). Kondisi seperti ini selalu menjadi persoalan klasik pemerintah. 

Pengentasan rakyat dari kemiskinan seharusnya fokus pada masyarakat perdesaan. Selain soal integrasi program pemerintah, harus dipahami adanya perbedaan kebutuhan penanganan terhadap kelompok keluarga miskin, rentan, atau bahkan menengah sekalipun. Dengan pola penanganan yang spesifik sesuai kelompok masyarakat, ketahanan masyarakat untuk tidak tenggelam atau jatuh ke bawah garis kemiskinan dapat diperkuat.
(LITBANG KOMPAS)  


Analisa di atas berhubungan dengan kemiskinan, jumlah penduduk miskin nasional berkurang sebanyak 500.000 orang. Pengurangan banyak terjadi di wilayah perkotaan. Namun, jumlah penduduk miskin di perdesaan justru naik. Kemiskinan di perkotaan dan perdesaan harus dilihat secara berbeda. Kondisi geografis, demografis, dan struktur ekonomi daerah sedikit banyak mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Struktur ekonomi di wilayah perkotaan dominan oleh sektor ekonomi yang tidak dapat diperdagangkan seperti keuangan dan jasa. Sementara wilayah perdesaan yang memiliki sumber daya alam lebih dominan dalam sektor pertanian, pertambangan dan industri. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi di perkotaaan lebih tinggi dari pada di pedasaaan. Akibatnya, kesenjangan antara kota dan desa semakin lebar.
Pemerintah memiliki 20 program untuk menangani masalah kemiskinan, di antaranya Program Subsidi Beras Sejahtera (Rastra), Program Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan, BPJS Kesehatan, Kelompok Usaha Bersama, dan Rumah Swadaya. Namun dari program-program tersebut masih banyak kekurangan dan ketidaktepatan.pemerintah harusnya lebih fokus membangun perekonomian di pedasaaan ketimbang di perkotaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar