Kompas-Dalam kurun
enam bulan (September 2015-Maret 2016), jumlah penduduk miskin nasional
berkurang sebanyak 500.000 orang. Pengurangan banyak terjadi di wilayah
perkotaan. Namun, jumlah penduduk miskin di perdesaan justru naik.
Kompas/WAWAN H PRABOWOPetani di Desa Pegalongan,
Kecamatan Patikraja, Banyumas, Jawa Tengah, mulai memasuki musim tanam kedua,
seperti terlihat pada Selasa (17/5/2016).
Laporan
pengurangan penduduk miskin nasional yang dilansir Badan Pusat Statistik
pertengahan Juli lalu memberi angin segar di tengah muramnya kondisi bangsa
saat ini. Betapa tidak, rendahnya angka pertumbuhan ekonomi sejak triwulan
pertama 2015 ikut memperlambat pengurangan penduduk miskin.
Bahkan,
sempat pada periode September 2014 hingga Maret 2015 penduduk miskin bertambah.
Jika pada September 2014 penduduk miskin berjumlah 27,73 juta jiwa, dalam enam
bulan jumlahnya bertambah menjadi 28,59 juta jiwa.
Laju
penurunan jumlah penduduk miskin melambat dalam beberapa tahun terakhir. Jika
pada periode 2004-2010 jumlah penduduk miskin berkurang rata-rata 0,85 juta
jiwa per tahun, pada periode 2011-2016 hanya berkurang rata-rata 0,27 juta jiwa
per tahun. Lesunya perekonomian global nyata memengaruhi kondisi domestik.
Meski
demikian, data terbaru BPS 2016 memperlihatkan grafik yang mulai membaik.
Perlahan, angka kemiskinan mulai menurun meski tidak dalam jumlah yang
fantastis. BPS memaparkan kemiskinan berkurang terutama disebabkan tingkat
inflasi yang relatif rendah dan turunnya tingkat pengangguran terbuka.
Persentase
penduduk miskin di perkotaan yang pada September 2015 sebesar 8,22 persen turun
menjadi 7,79 persen pada Maret 2016. Sementara persentase penduduk miskin di
perdesaan naik dari 14,09 persen pada September 2015 menjadi 14,11 persen pada
Maret 2016.
Mengapa
kemiskinan di perdesaan naik? Kondisi ini bisa jadi karena pada periode
Februari 2015 hingga Februari 2016 jumlah penduduk yang bekerja turun sebanyak
200.000 orang. Penurunan itu terutama terjadi di sektor pertanian, sektor yang
dominan di perdesaan.
Kota-desa
Kemiskinan
di perkotaan dan perdesaan harus dilihat secara berbeda. Kondisi geografis,
demografis, dan struktur ekonomi daerah sedikit banyak memengaruhi tingkat
kesejahteraan masyarakat. Apalagi ukuran kemiskinan selalu dipandang dari
faktor ekonomi yang diukur dari tingkat pendapatan (income) atau tingkat
pengeluaran (konsumsi) masyarakat. Di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia, ukuran kemiskinan dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar.
Muncul konsep garis kemiskinan yang mengacu pada rata-rata pengeluaran per
kapita per bulan.
Struktur
ekonomi di wilayah perkotaan dominan oleh sektor non-tradable, yaitu
sektor ekonomi yang tidak dapat diperdagangkan seperti keuangan dan jasa.
Sementara wilayah perdesaan yang memiliki sumber daya alam lebih dominan dalam
sektor tradable, yaitu pertanian, pertambangan, dan industri.
Pertumbuhan
sektor non-tradable biasanya lebih tinggi ketimbang sektor tradable.
Itu sebabnya, pertumbuhan pendapatan masyarakat di wilayah yang dominan sektor non-tradable-nya
lebih tinggi ketimbang pendapatan para petani di perdesaan. Akibatnya,
kesenjangan antara kota dan desa semakin lebar.
Kompas/P RADITYA MAHENDRA YASABuruh tani merontokkan
gabah hasil panen di Desa Pojokrejo, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang,
Jawa Tengah, Kamis (14/7/2016).
Oleh karena
ukurannya adalah pendapatan atau pengeluaran, tak heran fluktuasi angka
kemiskinan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi. Komoditas yang memberi
sumbangan besar terhadap kerentanan kemiskinan yang paling utama adalah beras.
Ini berlaku baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Selain
beras, di wilayah perkotaan, urutan kedua komoditas yang memengaruhi jatuhnya
seseorang atau sekelompok orang di bawah garis kemiskinan adalah perumahan.
Berbeda dengan wilayah perdesaan, urutan kedua pemberi sumbangan kerentanan
kemiskinan lebih ditentukan oleh komoditas rokok kretek filter.
Hal ini
memperlihatkan nilai rokok bagi masyarakat di desa lebih tinggi dibanding bagi
masyarakat kota. Masyarakat kota lebih mengutamakan perumahan setelah beras,
sedangkan masyarakat desa lebih mengutamakan rokok setelah beras.
Pengentasan
rakyat dari kemiskinan
Oleh karena
pendekatan dalam memahami kemiskinan dilihat dari sudut pandang ekonomi, hal
itu berimplikasi pada program yang dilakukan untuk mengentaskan rakyat dari
kemiskinan. Di banyak negara berkembang, upaya mengatasi masalah kemiskinan
bertumpu pada menggenjot pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan ini ke depan akan cukup menjanjikan. Pasalnya, angka pertumbuhan
ekonomi kita pada triwulan kedua tahun ini mulai merangkak naik menjadi 5,18
persen.
Kementerian
Sosial mendata, setidaknya pemerintah memiliki 20 program untuk menangani
masalah kemiskinan, di antaranya Program Subsidi Beras Sejahtera (Rastra),
Program Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan, BPJS Kesehatan, Kelompok
Usaha Bersama, dan Rumah Swadaya. Selain itu juga program-program yang terkait
dengan rumah tidak layak huni, asuransi kesejahteraan sosial, jaminan sosial
bagi lansia, dan anak telantar.
Akan tetapi,
masih banyak rumah tangga yang belum mampu keluar dari kemiskinan. Hal itu
disebabkan program-program tersebut belum terintegrasi. Program pengentasan
rakyat dari kemiskinan melibatkan banyak pihak di mana setiap institusi
pemerintah belum bersinergi satu dengan lainnya.
Selain itu,
target program berbeda-beda dan basis data yang digunakan tidak sama sehingga
sulit mengukur efektivitas program. Contoh sederhana, banyak rumah tangga
sangat miskin tidak menerima rastra sesuai jatahnya (15 kilogram). Kondisi
seperti ini selalu menjadi persoalan klasik pemerintah.
Pengentasan
rakyat dari kemiskinan seharusnya fokus pada masyarakat perdesaan. Selain soal
integrasi program pemerintah, harus dipahami adanya perbedaan kebutuhan
penanganan terhadap kelompok keluarga miskin, rentan, atau bahkan menengah
sekalipun. Dengan pola penanganan yang spesifik sesuai kelompok masyarakat,
ketahanan masyarakat untuk tidak tenggelam atau jatuh ke bawah garis kemiskinan
dapat diperkuat.
(LITBANG
KOMPAS)
Analisa di atas berhubungan dengan kemiskinan, jumlah
penduduk miskin nasional berkurang sebanyak 500.000 orang. Pengurangan banyak
terjadi di wilayah perkotaan. Namun, jumlah penduduk miskin di perdesaan justru
naik. Kemiskinan di perkotaan dan perdesaan harus dilihat secara berbeda.
Kondisi geografis, demografis, dan struktur ekonomi daerah sedikit banyak mempengaruhi
tingkat kesejahteraan masyarakat. Struktur ekonomi di wilayah perkotaan dominan
oleh sektor ekonomi yang tidak dapat diperdagangkan seperti keuangan dan jasa. Sementara
wilayah perdesaan yang memiliki sumber daya alam lebih dominan dalam sektor
pertanian, pertambangan dan industri. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi di
perkotaaan lebih tinggi dari pada di pedasaaan. Akibatnya, kesenjangan antara
kota dan desa semakin lebar.
Pemerintah memiliki 20 program untuk menangani masalah
kemiskinan, di antaranya Program Subsidi Beras Sejahtera (Rastra), Program
Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan, BPJS Kesehatan, Kelompok Usaha
Bersama, dan Rumah Swadaya. Namun dari program-program tersebut masih banyak
kekurangan dan ketidaktepatan.pemerintah harusnya lebih fokus membangun
perekonomian di pedasaaan ketimbang di perkotaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar